Reinterpretasi Hadis Larangan Perempuan Bepergian Tanpa Mahram dan Larangan Melukis (Pendekatan Sosio-Historis dan Antropologis))

Ghufron Hamzah

Abstract


Abstract

This article focuses on the interpretation of the prohibition of women traveling without mahram hadith and  the  prohibition  on  writing  which  is  often  understood  textually  as  the  editors  of  the  hadith.  The literature  review  method  with  descriptive  qualitative  analysis  through  contingent  analysis  of  the perspective of the socio-historical and anthropological approaches used in this article. The findings of this study are: (1) The legislation of the ban on women traveling alone if they look at the historical context of the above hadith is security and propriety, the current contextualization is if the security of women traveling alone is guaranteed and women are deemed appropriate more taboo when traveling alone, it does not matter if women travel alone without mahram, (2) Rationes legis from prohibiting the painting of animate creatures, namely the fear of the emergence of shirk by worshiping paintings or sculptures as in the time of ignorance. This prohibition in the concept of usul fiqh can be categorized as sadd al-dzari'ah which is to cut the path of damage (mafsadah) as a way to avoid such damage, in other words it is an anticipatory step.

Keywords: reinterpretation, hadith prohibition, anthropological, socio-historical approach

Abstrak

Artikel  ini fokus  untuk  mengkaji  tentang  penafsiran  hadis  larangan  perempuan  bepergian  tanpa mahram dan larangan menulis yang kerap kali dipahami secara tekstual sebagaimana bunyi redaksi hadisnya.  Metode  kajian  pustaka  dengan  analisis  kualitatif  deskriptif  melalui  analisis  kontent perspektif  pendekatan  sosio-historis  dan  antropologis  digunakan  dalam  artikel  ini.  Adapun  hasil temuan  melalui  kajian  ini  adalah:  (1)  Rationes  legis  dari  pelarangan  bagi  perempuan  bepergian sendirian jika menilik konteks historis hadis di atas adalah keamanan dan kepatutan, kontekstualisasi saat  ini  adalah  apabila  keamanan  perempuan  yang  bepergian  sendirian  sudah  ada  jaminan  dan perempuan sudah dianggap patut tidak lagi tabu ketika melakukan perjalanan sendirian, maka tidak masalah apabila perempuan bepergian sendirian tanpa mahram, (2) Rationes legis dari pelarangan melukis  makhluk  yang  bernyawa,  yaitu  kekhawatiran  munculnya  penyakit  syirik  dengan  melakukan penyembahan terhadap lukisan atau patung sebagaimana pada masa jahiliyah. Pelarangan ini dalam konsep  ushul  fiqh  bisa  dikategorikan  sebagai  sadd  al-dzari’ah yaitu memotong jalanyang  dapat menyebabkan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut, dengan kata lain merupakan langkah antisipatif.

Kata Kunci : Reinterpretasi, hadis larangan, pendekatan sosio-historis, antropologi


Full Text:

PDF


DOI: https://doi.org/10.34001/jasna.v1i1.944

Article Metrics

Abstract view : 940 times
PDF - 1696 times

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


JASNA : Journal For Aswaja Studies is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.

IT Support by Data Center and IT Development Unisnu Jepara

INDEX BY :